Selasa, 01 Agustus 2017

MAKALAH PERAN WANITA DALAM KEILMUAN


PERAN WANITA DALAM KEILMUAN

قَالَ عُرْوَةُ لِعَائِشَة: يَا أمْتَاه: لاَ أَعْجِبُ مِنْ فِقْهِكِ، أَقُوْلُ: زَوْجَةُ رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ أَعْجِبُ مِنْ عِلْمِكِ بِالشِّعْرِ وَأَيَّامِ النَّاسِ، أَقُوْلُ: اِبْنَةُ أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ الَّذِيْ كَانَ مِنْ أَعْلَمِ النَّاسِ بِأَنْسَابِ الْعَرَبِ وَشِعْرِهِمْ. وَلَكِنْ أَعْجِبُ مِنْ عِلْمِكَ بِالطِّبِ، كَيْفَ هُوَ؟ وَمِنْ أَيْنَ هُوَ؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: أَيْ عُرِيَّةُ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يُقَسِّمُ عِنْدَ آخِرِ عُمْرِهِ فَكَانَتْ تُقَدِّمُ وُفُوْدَ الْعَرَبِ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ فَتَنَعْتُ لَهُ اْلأَنْعَاتِ وَكُنْتُ أَعَالِجُهُ.

Berkatalah ‘Urwah dari Aisyah: “ Wahai Ibu, saya tidak terheran dengan keahlian ilmu fiqih mu. Saya katakana: Istri Rasulullah, saya tidak terheran pada keahlian sejarah perang dan keseharianmu berhubungan dengan orang lain, saya katakan: putri Abu Bakar Assidiq merupakan seseorang yang paling pandai dengan nasab-nasab Arab dan syair-syair mereka, akan tetapi saya paling heran dengan ilmumu mengenai pengobatan. Bagaimana itu bisa? ‘ maka Aisyah menjawab: “ sesunguhnya di masa-masa akhir usia Rasulullah, maka Aisyah meminta utusan dari beberapa daerah di Arab yaitu juru ramu yang meramu untuk pengobatan, dan saya yang mengobati beliau”.

هَذَا مَوْقِفُ يَتَّصِلُ بِقَضِيَّةٍ مِنْ أَهَمِّ قَضَايَا الْمُسْلِمِيْنَ فِي اْلعَصْرِ الْحَاضِرِ. وَيَأْتِيْ هَذَا الْمَوْقِفُ لِيَكُوْنَ حِكْمَةً وَبُرْهَانًا عَلَى مَكَانَةِ الْمَرْأَةِ فِي الْإِسْلاَمِ، وَدَوْرُهَا فِي اْلعِلْمِ وَفِي اْلحَيَاةِ الْعَامَّةِ. فَالْاِسْلاَمُ كَرَّمَ الْمَرْأَةَ بِنْتًا، وَجَعَلَ تَرْبِيَّةَ الْبَنَاتِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَكَرَّمَ الْمَرْأَةَ أُمًّا، فَجَعَلَ الْجَنَّةَ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ، وَكَرَّمَ الْمَرْأَة فَجَعَلَ إِكْرَامِهَا مُيَزَانًا لِخَيْرِيَّةِ الرَّجُلِ لِقَوْلِهِﷺ: ((خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ))
H
adis ini berkaitan dengan hal-hal yang paling penting untuk orang-orang muslimin sekarang. Hadis ini memberi hikmah sebagai bukti kebijaksanaan atas kedudukan perempuan dalam Islam serta perananya dalam ilmu pada kehidupan umum. Maka dari itu Islam memuliakan anak perempuan yang menjadikan pendidikan anak-anak perempuan mereka sebagai jalan ke surga. Kemudian Islam mengajarkan kemuliaan perempuan adalah seorang Ibu. Maka hal ini menjadikan surga itu berada ditelapak kaki para Ibu. Kemuliaan wanita menjadi pertimbangan baik bagi laki-laki, seperti sabda Rasulullah: “ terbaik dari terbaik diantara kalian semua adalah yang terbaik untuk keluargamu, dan aku yang terbaik untuk keluargaku.

وَلَمْ يَعْزِلِ اْلإِسْلاَمُ الْمَرْأَةَ عَنِ الْحَيَاةِ الْعَامَّةِ وَالْمُشَارِكَةِ فِيْهَا كَمَا يُزْعِمُ أَعْدَاءَ الْإِسْلاَمِ، بَلْ أَتَاحَ لَهَا الْمُشَارِكَةُ فِي الْجِهَّادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَفِي الْعِلْمِ، وَفِي الدَّعْوَةِ إِلىَ اللهِ تَعَالى، وَفِي الْحَيَاةِ الْعَامَّةِ. وَكُلُّ ذَلِكَ فِيْ إِطَارٍ طَاعَةٌ رَبَّهَا دُوْنَ تَفْرِيْط فِيْ هُدًى مِنْ هُدَى دِيْنِهَا.

Islam tidak memisahkan wanita dari kehidupan umum maupun peperangan di dalamnya, seperti halnya, anggapan musuh Islam, tetapi memberi kesempatan bergabung di dlam jihad kepada Allah, di dalam keilmuan, dan dalam dakwah Allah, serta dalam kehidupan pada umumnya. Semua itu merupakan upaya dalam ketaatan kepada Tuhan tanpa mengabaikan petunjuk yang ditunjukkan agamannya.

وَنَحْنُ-فِيْ هَذَا الْمَوْقِفِ- أَمَامَ شَخْصِيَّةٍ ثَرِيَّةٍ جِدًّا. إِنَّهَا قِمَةٌ مِنَ الْقِمَمِ النِّسَائِيَّةِ الَّتِيْ اْنتَفَعَتِ الْبَشَرِيَّةِ بِعِلْمِهَا وَمَوَاقِفِهَا، وَحَسْبُهَا أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَنْزَلَ فِيْهَا قُرْآناً يُتْلَى فِيْ مَوْقِفِ عَدِيْدَةٍ. إِنَّهَا أُمُّ الْمُؤْمِنِيْنَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهَ عَنْهَا.

Dan kami ( dalam hadis ini ) memiliki karakter yang kuat. Sesunguhnya karakter dari kaum wanita itulah yang maksimal dari wanita yang bermanfaat bagi golongannya melalui ilmunya, melalui kedudukannya, dan dengan pemikirannya. Sesunguhnya Allah telah menurunkan di dalam Al-Qur’an, sesuatu yang mana disampaikan pada penjelasan hadis ini. Bahwa sesuguhnya Ibu dari para orang mukmin adalah Aisyah R.A.

وَعَنْ دَوْرُهَا فِي الْعِلْمِ كَمَا يَظْهَرُ مِنَ الْمَوْقِفِ فَإِنَّ السَّيِّدَةَ عَائِشَة-رَضِيَ اللهَ عَنْهَا-كَانَ لَهَا عَلِمَ بِالْحَدِيْثِ، فَقَدْ رَوْت أَكْثَرُ مِنْ أَلْفَى حَدِيْثِ ذُكِرَ لَهَا فِي الصَّحِيْحَيْنِ مِنْهَا سَبْعَةُ وَتِسْعُوْن َوَمِائَتَا (297) حَدِيْثٍ. وَكَانَ لِلسَّيِّدَةِ عَائِشَةِ-رَضِيَ اللهَ عَنْهَا-  عَلِمَ بِتَفْسِيْرِ آيَاتِ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، فَمِنْ ذَلِكَ سُؤَالِ عُرْوَةِ عَائِشَةَ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى:

Dan dari peranannya dalam ilmu seperti yang telah dijelaskan pada hadis ini di atas, maka sesunguhnya Sayidah Aisyah mengetahui tentang hadis. Beliau telah meriwayatkan sebagian besar dari 2000 hadis yang telah dikumpulkan dalam ‘shokhikhain’ yaitu hadis Bukhori Muslim. Darinya ( Aisyah ) telah meriwayatkan sebanyak 297 hadis. Selain itu Aisyah juga mengetahui tentang tafsir ayat-ayat Al-Qur’an. Maka dari itu, Urwah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah:
  
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ 
 (البقرة\158) 

“ Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi´ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”.

فَأَجَابَتْ: لِأَنَّ النَّبِيِّ قَدْ مَشَّى بَيْنَهُمَا، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَتْرَكَ الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا أَوْ أَنْ يَّتَحْرَجَ مِنْ ذَلِكَ.

Maka Sayidah Aisyah menjawab: “ Sesunguhnya Nabi telah berjalan diantara keduannya, maka tidak ada satupun yang meninggalkan tawaf diantara keduannya”.

وَكَانَ لِلسَّيِّدَةِ عَائِشَةِ-رَضِيَ اللهَ عَنْهَا- مُشَارِكَة فِي الْحَيَاةِ الْعَامَّةِ، فَقَدْ طَلَبَتْ-رَضِيَ الله عَنْهَا- مِنْ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ وَهُوَ فِي النَّزْعِ الْأَخِيْرِ أَنْ يُعَيِّنُ لِلْأُمَّةِ خَلِيْفَةَ مِنْ بَعْجَه حَتَّى لاَ تَتَفَرَّقُ الْأُمَّة مِنْ بَعْدِهِ.

Sayidah Aisyah R.A. bersosialisasi dengan kehidupan umum, maka dari itu dia mencari ilmu dari Umar bin Khatab R.A. pada masa – masa akhir keperintahannya Umar, dengan tujuan untuk membantu umat setelah Kholifah, sehingga tidak terjadi pertikaian sesudahnya.

ثُمَّ يُبَيِّنُ الْمَوْقِف أَنَّ السَّيِّدَة عَائِشَة مِنْ فِقْهِهَا. وَعِلْمِهَا بِأَنْسَابِ الْعَرَبِ وَشِعْرِهِمْ، تَعْلِمَتِ الطِّبْ، وَسَأَلَهَا عُرْوَة عَنْ مَصْدَرِ هَذَا الْعِلْم. فَأَجَابَت ((بِأَنَّهَا اِسْتَفَادَت مِنَ الْأَطِبَّاءِ الَّذِيْنَ كَانُوْا يَأْتُوْنَ مَعَ وُفُوْدَ الْعَرَبِ إِلَى رَسُولِ الله ﷺ فِيْ أَوَاخِرِ عُمْرِهِ، وَكَانَ النَّبِيِّﷺ يُصِيْبُهُ الْمَرْضَ، فَكَانُوْا يُصْفُوْنَ لَهُ بَعْضَ الْأَدَوِيَّة، وَكَانَت السَّيِّدَة عَائِشَة-رَضِيَ الله عَنْهَا- هِيَ الَّتِيْ تَقُوْمُ بِتَمْرِيْضِهِ وَمَعَالِجَتِهِ بِهَذِهِ الْأَدَوِيَّةِ، فَتَمَّ لَهَا هَذَا الْعِلْمِ.  

Kemudian dijelaskan bahwa kefahaman Aisyah berasal dari keahlian ilmu fiqihnya. Ilmunya berasal dari nasab orang Arab dan syi’ir orang Arab. Telah belajar ilmu pengobatan dan bertanyalah Urwah metode ilmu ini. Maka menjawablah Aisyah karena sesunguhnya hal itu dibutuhkan dari para dokter yang akan datang dengan para utusan kepada Rasulullah di akhir usia beliau, ketika nabi menderita sakit, maka mereka berkumpul untuk meramu obat untuk nabi. Dan Sayidah Aisyahlah yang merawat serta mengobati nabi dengan ramuan itu. Maka sempurnalah ilmunya.

والله أعلم

IBU SEBAGAI MADRASAH AWAL
( Sebuah Analisis )

Orang tua adalah guru, pendidik, dan sosok teladan pertama bagi anak-anak mereka, orang tua yang senantiasa mentaati Allah dengan memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka. Orang tua shaleh selain menghidangkan makanan yang baik, juga memberikan pengajaran-pengajaran yang baik pula. Ayah di dalam struktur keluarga berkedudukan sebagai pemimpin dalam rumah tangga, dialah panglima yang menjadi tauladan bagi istri dan anak-anaknya. Sementara ibu adalah petugas lapangan yang secara langsung akan menjadi madrasah pertama ( madrasah ula ) bagi anak-anak mereka. Maka dapat dikatakan peran wanita ( dalam pembahasan di sini ) sebagai Ibu dalam mendidik anak lebih besar dari pada peran Ayah ketika itu dalam hal mendidik anak. Salah satu yang menyebabkan hal ini terjadi adalah disebabkan seorang Ibu akan lebih banyak tinggal di rumah sehingga intensitas pertemuan dengan anak lebih banyak dari pada Ayah yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarga yang sebagian banyak waktunnya dihabiskan di luar rumah. Demikian juga dengan sifat wanita yang lembut dan penuh kasih saying membuat seorang wanita lebih bisa dekat dengan pribadi anak.
Seorang wanita yang shalihah tidak hanya menghidangkan makanan kemulut anaknya, akan tetapi juga memberikan santapan ilmu dan juga santapan iman. Disamping memberikan ASI, Ibu juga memberikan air kehidupan bagi anak, yakni prinsip-prinsip terbaik dalam kehidupan. Disamping memberikan kasih sayang, Ibu juga memberidengar kepada anak mereka untaian dzikir dan shalawat nabi-Nya yang akan membuat jiwa anak tumbuh dengan rasa cinta kepada agama Islam secara keseluruhan sampai akhir.
Peran wanita dalam hal ilmu tidak bisa diragukan lagi. Mungkin jika dilihat dari segi lembaga pendiidkan formal, semisal sekolah, peran seorang wanita tidak banyak bedannya dengan laki-laki. Tapi jika dilihat dari segi pendidikan non formal, yaitu pendiidkan keluarga, maka proses pendidikan anak yang paling menentukan adalah ditangan Ibu. Wanita dengan ilmu yang dimilikinnya akan menjadi pendidik yang baik dalam mentrasfer ilmu. Sebagai pendidik di rumah maka sudah seharusnya Ibu memiliki ilmu yang memadai. Baik ilmu secara agama, maupun ilmu duniawi di luar pengetahuan agama. Dimulai dari memiliki pengetahuan tentang halal dan haram, prinsip-prinsip Islam dalam ber-etika, dan memahami secara global peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah syariat Islam. Jika kompetensi tersebut dimiliki oleh seorang Ibu, maka akan terbentuk generasi-generasi Islam dengan akhlak Islami.
Tapi jika Ibu atau wanita sebagai pendidik tidak mengetahui hal-hal di atas, terlebih tentang konsep dasar mendidik anak, maka akan terbentuk pribadi anak yang tidak matang. Mengalami keraguan dalam bidang spiritual, mengalami goncangan dalam bidang moral dan social serta akan membuat anak mengalami goncangan mental. Semua hal ini akan menjadikan anak di masa depan menjadi pribadi yang kurang diperhatikan serta diragukan eksistensinya.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa wanita sebagai madrasah ula bagi anak-anak mereka akan sangat mempengaruhi kehidupan masa depan anak-anak mereka secara umum. Maka untuk itu, sebagai wanita yang akan menjadi Ibu, sudah seharusnya para wanita muslim mencari ilmu dengan optimal agar kelak ketika menjadi Ibu dapat menjadi madrasah ula yang terbaik untuk anak-anak mereka.

MAKALAH MAF'UL BIH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika kita tinggal di daerah ataupun Negara dengan bahasa resmi bahasa Arab, tentu bukan menjadi suatu kesulitan bagi kita untuk mempelajari bahasa tersebut. Di Indonesia sendiri sebenarnya, penutur bahasa Arab mudah sekali untuk kita temui. Kemampuan yang dimiliki para penutur ini sangat beragam. Dari yang hanya pendengar pasif sampai penutur aktif.
Sekolah-sekolah berbasis agama di Indonesia juga memasukkan bahasa Arab menjadi slah satu bahasa yang wajib untuk dipelajari dari tingkat terrendah pendidikan. Selain di sekolah formal, bahasa Arab lebih berkembang agi dengan baik pada sekolah-sekolah non formal. Semisal di pondok pesantren dan madrasah-madrasah.
Maf’ul fih, merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk-bentuk susunan kalimat maupun kata yang terrangkum dalam ilmu nahwu pada bahasa Arab. Walaupun sudah banyak orang yang sudah bisa menuturkan bahasa Arab tapi untuk membuat tuturan tersebut menjadi lebih benar, maka tidak ada salahnya untuk belajar ilmu ini secara lebih lanjut. Dengan harapan apa yang menjadi materi pada kesempatan kali ini dapat membuat orang-orang yang masih beajar untuk memahami atau yang ingin menuturkan bahasa Arab dapat terbantu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi dari maf’ul fih/ dhorof?
2. Bagaimana dhorof berupa isim zaman?
3. Bagaimana dhorof berupa isim makan?
4. Bagaimana pembagian dhorof?
5. Apa yang dimaksud I’rad dhorof?

C. Tujuan Pembahasan Masalah

1. Untuk mengetahui arti dari maf’ul fih
2. Untuk mengetahui dhorof yang berupa isim zaman
3. Untuk mengetahui dhorof yang berupa isim makan
4. Untuk mengetahui jenis dari pembagian dhorof
5. Untuk mengetahui I’rad dhorof


A. Definisi Maf’ul Fih / Dhorof

Yaitu isim yang menunjukkan makna atau tempat yang menyimpan maknannya في secara terlaku. Seperti  هنا امكث أزمنا  , lafadz هنا  menunjukkan tempat dan lafadz ازمنا menunjukkan waktu.
B. Dhorof Berupa Isim Zaman

Dhorof zaman ialah, isim zaman (waktu) yang di-nashab-kan dengan memperkirakan makna fî (pada/dalam), seperti lafazh:  (pada hari ini),   (pada malam ini),  (pagi hari),   (waktu pagi),   (pada waktu sahur),   (besok),   (waktu sore atau waktu Isya),   (pada waktu subuh),   (pada waktu sore), (selamanya),  (ketika), dan lafazh yang menyerupainya. Berikut ini beberapa contoh kalimat yang menggunakan dhorof zaman.

Keterangan
waktu Contoh  
Pagi
hari صَبَا حَا Muhammad bangun dari tidurnya pagi-pagi. مُحَمَّدٌ يَقُوْمُ مِنْ نَوْمِهِ صَبَحًا مُبَكِّرًا  
Malam
hari لَيْلا Ahmad membaca Al-Qur’an pada malam hari. يَقْرَأُ اَحْمَدُ الْقُراَنُ لَيْلاَ  
Bulan شَهْرًا Ahmad tinggal di Yogyakarta sebulan yang lalu. يَسْكُنُ احْمَدُ فِيْ الجَوْكْجَكَرْتَا قَبْلَ شَهرٍ  
Ahad
قَرْنًا استخلت اندونسي في قرنِ عشرٍ  
Satu jam سَاعَةٌ Saya telah belajar bahasa arab pada jam empat. اَدْرُسُ اللغة العربية في اربعِ سَعَةٍ  
Sebelum
قَبْلَ Kami sampai di terminal sebelum maghrib. وَصَلْنَا فِى المَحَطَّةِ قَبْلَ مَغْرِبِ  
Kemarin
اَمْسِ Saya telah pergi ke rumahnya (laki-laki) kemarin. ذَهَبْتُ الى البيتكَ اَمْسٍ  
Baru saja آنِفًا Saya baru saja membeli majalah di toko buku. يَشْتَرِيْ آنِفَا المَجَلَةَ فِى الْمَكْتَبَةِ  
Sore hari مَسَاءًا Mereka mengerjakan pekerjaan rumah pada sore hari. يَعْمَلُوْنَ الْوَاجِبَاتِ الْمضدْرَسِيَّةَ مَسَاءً  
Siang hari نَهَارًا Muhammad pulang dari kota pada siang hari. مُحَمَّدُ يَرْجِعُ مِنَ الْمَدِيْنَةِ نَهَارًا  
Tahun

سَنَةً Dia berusia sembilan belas tahun. هِيَ عُمُرُهَا تِسْعَ عَشْرَةَ سَنَةً  
Setelah
بَعْد Dia (laki-laki) membaca al-Qur’an setelah sholat subuh. هُوَ يَقْرَأُالْقُرْأنُ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ  
besok غَدًا Ali akan pergi ke Jakarta besok. سَيَدْ هَبُ اَلِى اِلَى جَاكَرْتَا غَدًا

C. Dhorof  Berupa Isim Makan

Dhorof makan ialah, isim makan (tempat) yang di-nashab-kan dengan memperkirakan makna fî (pada/dalam), seperti lafazh:   (di depan),   (di belakang),   (di depan),   (di belakang),   (di atas),   (di bawah),   (di dekat atau di sisi),  (beserta),   (di muka atau di depan),   (di dekat),   (di hadapan),   (di sini),   (di sana), dan lafazh yang menyerupainya.

Keterangan
tempat Contoh  
Di depan اَمَامَ Mobil itu ada di depan sekolah. اَلسَّيَّارَةُ اَمَمَا الْمَدْرَسَةِ  
Di atas فَوْقَ Garpu itu di atas meja makan. الشَوْكَةُ فَوْقَ الْمَا ئِدَةِ  
Di kanan يَمِيْنَ Saya duduk di sebelah kanan Zaenab. جَلَسَتْ فَاطِمَةُ يَمِيْنَ زَيْنَبَ  
Di antara بَيْنَ Rumah saya berada di antara sekolah dan kantor pos itu. بَيتِيْ بَيْنَ المَدْرَسَةَ وَ المَكْتَبُ بَرِيْدَ  
Dibelakang وَرَاءَ Kandang itu ada di belakang rumah. الزَّرِبَةُ وَرَاءَالْبَيْتِ  
Di bawah تَحْت Pisau itu di bawah wastafel. السِكِّيْنَةُ تَحْتَ الحَوْضِ  
Di kiri شِمَالَ Rumah saya berada di kiri jalan yang kecil. البَيْتِيْ شِمَالَ االشَّارَعٍ صَغيْرَ  
Di sekitar حَوْلَ Disekitar rumah saya ada taman/kebun. الحَدِيْقَةُ حَوْلَ البَيْتِى  
Di sisi إِزَادَ Bolpen mereka ada di sisi buku mereka. اَلْقَلَموْنَ إِزَادَ الْكِتَابَوْنِ  
Di samping نِبَ Ali berdiri di samping Ahmad. قَامَ اَلِىُّ جَنِبَا اَحْمَدَ  
Di tengah وَسَطَ Rumah saya ada ditengah- tengah kota. البَيْتِى وَسَطَ المَديْنَةِ  
Di sini هُنَا Di sini ada universitas yang besar. هُنَا الجَا مَعَةُ كَبِيْرَ  
Di
sana هُنَكَ Di sana ada anak yang pandai. هُنَكَ اَلْوَلَدُ مَا هِرٌ

 
Di
Belakang خَلْفَ Kursi itu ada di belakang pintu. الكُرْسِيُّ خَلْفَ البَابَ  
Menuju,
Ke arah نَحْوَ Ahmad pergi menuju lemari baju. ذَهَبَ اَحْمَدُ نَحْوَ خَزَانَةَ المَلاَ بِسِ

D.  Pembagian Dharof

Zharaf terdiri dari dua bagian yaitu:
1. مُتَصَرِّفٌ  ; lafazh yang terkadang berfungsi sebagai zharaf dan juga tidak.
Contoh sebagai zharaf;
صُمْتُ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ                              : Aku shaum pada hari senin.
Contoh bukan sebagai zharaf      
يَوءمض الْجُمْعَةِ يَوْمٌ مُبَارَكٌ                       : Hari jum’at adalah yang berkah.
            Penjelasanya adalah:
Lafazh يَوْمَ dalam contoh pertama adalah sebagai manshub dan berfungsi sebagai zharaf     atau keterangan waktu dari kata kerja;  صُمْتُ (aku shaum).
Sedangkankan lafazh يَوْمَ dalam contoh kedua bukan sebagai zharaf. Yang pertama sebagai mubtada dan yang kedua sebagai khabar dan dua-duanya dibaca marfu’.
2.     غَيْرُ مُتَصَرِّفِ: lafazh-lafazh yang tidak digunakan  untuk zharaf atau majrur dengan مِنْ, seperti: عِنْدَ- بَعْدَ- قَبْلَ.
Penjelasannya adalah:
Lafazh-lafazh tersebut selamanya pasti berfungsi sebagai zharaf atau majrur              dengan مِنْ, contoh:
            عَلِيًّا بَعْدَ زُرْتُ          :        Aku mnengok Ali setelah kamu.
          وَمَاأُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ      :        Dan kepada kitab ynag diturunkan sebelum kamu.
E.   I’rab Zharaf

1.     مُعْرَبٌ;  zharaf yang mu’raf seperti :
يَوْمً- لَيْلاً- شَهْرً- سَنَةً
2.    مَبْنِيٌّ; zharaf mabniy yang selalu dibaca dalam bentuk yang sama, seperti:
أَمْسِ – إِذَا – حَيْثُ – اَلآنَ


BAB III
KESIMPULAN

1. Dhorof adalah isim yang menunjuk pada keterangan tempat atau waktu
2. Dhorof zaman adalah isim yang menunjukkan waktu
3. Dhorof makan adalah isim yang menunjukkan tempat
4. I’rad dibagi menjadi dua yaitu,  مُعْرَبٌ  dan  مَبْيٌّ

Sumber: ibra1995.blogspot.co.id/2015/06/al-maf-ul-fih.html
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/bahasa-arab//1/zharaf-zaman-dan-zharaf-makan.html

Oleh : Ana

MAKALAH MUBTADA DAN KHABAR

MUBTADA DAN KHABAR

Mubtada dan khabar adalah dua isim yang dari keduanya tersusun “jumlah mufidah”(pola kalimat yang memberikan faedah). contohnya :
(الحق منصور -  الاستقلال ضامن سعادة الامة)
Mubtada menjadi berbeda dengan khabar karena mubtada adalah yang dikabarkan sedangkan khabar adalah yang mengabarkan. Mubtada adalah isim yang disandarkan kepada khabar yang tidak didahului oleh amil. Sedangkan khabar adalah isim yang disandarkan kepada mubtada. Ia adalah penyempurna faedah beserta mubtada. Jumlah atau pola kalimat yang tersusun dari mubtada dan khabar dinamakan “jumlah ismiyah”.
Ada delapan pembahasan yang berkaitan dengan mubtada dan khabar :
Beberapa hukum mubtada.
Ada lima hukum bagi mubtada :
Wajib dibaca rafa’. Meskipun terkadang juga dibaca jair
Dengan ba
(بحسبك الله)
Atau huruf zaidah
(هل من خا لق غير الله يرزقكم)
Atau dengan rubba.
(يا رب كا سية فى الدنيا عا رية يوم القيامة)
Wajib berupa isim ma’rifah seperti :
(محمد رسول الله )
atau nakirah mufidah seperti :
(مجلس علم ينتفع به خير من عبادة سبعين سنة)
 Untuk nakirah mufidah harus memenuhi salah satu di antara 14 syarat di antaranya :
Berupa idlafah secara lafadz.(خمس صلوات كتبهن الله) atau secara makna(كل يموت)
Berupa isim sifat secara lafadz
     
atau dikira-kirakan.(امراتى بك-اي امر عظيم)

Khabarnya berupa dharaf
       
atau jar majrur
   
dan khabarnya didahulukan.
Jika jatuh setelah nafi   (ما احد عندنا )atau istifham (ا اله مع الله), huruf laula, dan idza fujaiyyah(خرجت فاذا اسد رابض).
Nakirah mufidah itu menjadi amil.(امر بمعروف صدقة ونهي عن منكر صدقة)
Berupa isim mubham.(من يحتهد يفلح)
Nakirah mufidah itu merupakan permohonan, baik(سلام عليكم) atau buruk.(ويل للمطففين)
Boleh membuangnya ketika ada dalil.(سورة انزلناها)
Wajib membuangnya ketika dalam empat posisi :
Ketika atasnya ditunjukkan jawabnya qasam.(فى ذمتى لافعلن كذا)
Ketika khabarnya berupa mashdar pengganti.(صبر جميل-اي صبيري)
Ketika khabarnya ditakhsis dengan pujian atau celaan.(نعم او بئس)
Ketika aslinya berupa naat.
Asalnya mubtada posisinya di depan namun terkadang juga harus diposisikan di belakang.
Mubtada terbagi menjadi 3 bagian :
Sharih/jelas.(الكريم محبوب)
Dlamir munfashil.(انت مجتهد)
Dikira-kirakan.(وان تصوموا خير لكم)
Beberapa hukum khabar mubtada.
Bagi khabar ada tujuh hukum :
Wajib dibaca rafa’
Khabar aslinya adalah nakirah musytaqqah tapi terkadang juga isim jamid. (هذا حجر)
Harus sesuai dengan mubtada’nya dari sisi mufrad tatsniyah dan jamaknya serta mudzakkar dan muannatsnya.
Boleh dibuang ketika ada dalil.(خرجت فاذا الاسد اي حاضر)
Harus dibuang ketika dalam empat kondisi.
ketika menunjukkan sifat yang mutlak, artinya menunjukkan wajah yang umum
الجنة تحت اقدام الامهات).(العلم فى الصدور
keberadaan khabar itu adalah khabar bagi mubtada sharih dalam qasam/sumpah.
(لعمزك لافعلن كذا)
ketika khabarnya berupa mashdar atau isim tafdhil yang dimudlafkan kepada mashdar dan setelahnya ada hal yang tidak patut menjadi khabar dan patutnya hanya menempati tempatnya khabar.(افضل صلاتك خاليا منشغلك)
ketika khabar jatuh setelah “wawu” yang tertentu bermakna “ma’a”.
((كل امرئ وما فعل اي وفعله
Boleh lebih dari satu meskipun mubtada’nya hanya satu.
(خليل كاتب شاعر خطيب)
Aslinya khabar posisinya di belakang mubtada tetapi terkadang juga boleh di depan bahkan terkadang wajib di depan.
Khabar Mufrad.
Khabar mubtada terdiri dari dua macam yaitu khabar mufrad dan khabar jumlah. Khabar mufrad adalah khabar yang tidak berupa pola kalimat, meskipun isimnya tatsniyah atau jamak. المجتهدان محمودان- المجتهدون محمودون) (المجتهد محمود-
Khabar adakalanya berupa isim jamid terkadang berupa isim yang musytaq. Yang dimaksud dengan isim jamid adalah isim yang tidak mengandung makna sifat. Sedangkan yang dimaksud dengan isim musytaq adalah isim yang mengandung makna sifat. Dan ketika khabar mubtada mengandung dlamir mubtada maka khabar harus sesuai dengan mubtada dari sisi mufrad tatsniyah dan jamaknya serta mudzakkar dan muannatsnya.
Dan ketika khabar tidak mengandung dlamir yang kembali kepada mubtada maka khabar tersebut boleh bersesuaian dengan mubtada boleh juga tidak bersesuaian dari sisi mufrad tatsniyah dan jamaknya serta mudzakkar dan muannatsnya.

Khabar Jumlah.
Khabar jumlah adalah khabar yang terdiri dari jumlah fi’liyyah atau jumlah ismiyyah.
(الخلق الحسن يعلى قدر صاحبه--العامل خلقه حسن)
Dan disyaratkan jumlah yang menjadi khabar itu mengandung rabith/penghubung yang menyambung ke mubtada. Dan rabith itu bisa berupa dlamir bariz, dlamir mustatir yang kembali ke mubtada, adakalanya muqaddar, isim isyarah yang menunjuk ke mubtada, dan adakalanya kembali ke mubtada dengan lafadznya, atau dengan lafadz yang lebih umum dari mubtada.

Keharusan Mendahulukan Mubtada.
Hukum aslinya mubtada adalah didahulukan dan khabar diakhirkan, namun terkadang salah satunya harus didahulukan dan salah satunya harus diakhirkan. Mubtada harus didahulukan ketika berada dalam enam posisi, yaitu :
Berupa isim yang berada pada permulaan kalimat, seperti isim-isim syarat,(من يتق الله يفلح) isim-isim istifham,(من جاء) ma ta’ajjubiyyah(مااحسن الفضيلة) dan kam al khabariyyah.
(كم كتاب عندي)
Ketika berupa isim yang serupa dengan isim syarat.(الذي يجتهد فله جائزة)
Ketika dimudlafkan kepada isim yang merupakan permulaan kalam.(غلام من مجتهد)
Ketika bersamaan dengan lam ta’kid. (لعبد مؤمن خير من مشرك)
Ketika masing-masing dari mubtada dan khabar berupa isim ma’rifah atau isim nakirah dan tidak ada qarinah yang menta’yin salah satu di antara keduanya, oleh karena itu mubtada didahulukan khawatir adanya iltibas antara musnad dan musnad ilaih.
(اخوك علي) Namun ketika ada qarinah yang membedakan mubtada dan khabar maka boleh mendahulukan atau mengakhirkan mubtada.(رجل صالح حاضر)
Ketika mubtada diringkas di dalam khabar yaitu ketika khabar member qarinah dengan illa lafdhan(وما محمد الا رسول) atau ma’nan(انما انت نذير)
Keharusan Mendahulukan Khabar.
Khabar wajib ditempatkan sebelum mubtada dalam empat kategori, yaitu :
Ketika mubtada berupa nakirah ghoiru mufidah sedangkan khabar berupa dharaf atau jar majrur.(في الدار رجل—عندك ضيف)
Ketika khabar berupa isim istifham (كيف حالك) atau dimudhafkan kepada isim istifham.
 (ابن من انت)
Ketika ada dlamir yang tersambung dengan mubtada, kembali kepada khabar.
(في الدار صاحبها)
Ketika khabar diringkas oleh mubtada yaitu ketika mubtada bersamaan dengan illa baik secara lafdhan  (ما خالق الا الله) atau ma’nan.(انما محمود من يجتهد)
Mubtada Shifat.
Terkadang sifat dibaca rafa’ karena menjadi mubtada. Jika maushufnya tidak sesuai dari sisi tatsniyah dan jama’nya maka tidak memerlukan khabar, tetapi cukup dengan fa’il atau naibul fa’il, maka keberadaannya menjadi rafa’ karenanya, menempati posisi khabar.
((ناجح والداك

Oleh : Ahmad K.

MAKALAH BAB MUNADA MUDHAF PADA YA’ MUTAKALLIM

Munada yang dimudhafkan pada Ya’ Mutakallim bisa berupa Isim Mu’tal Akhir atau Shahih Akhir.
Apabila berupa Isim Mu’tal Akhir, maka hukumnya sama dengan ketika tidak menjadi Munada, sebagaimana penjelasannya dalam Bab Mudhaf pada Ya’ Mutakallim, yaitu menetapkan Ya Mutakallim dengan berharkat fathah, contoh:
يا فتايَ
YAA FATAAYA = Hai Pemudaku!
يا قاضيَّ
YAA QAADIYA = Hai Hakimku !
oOo
Apabila berupa Isim Shahih, maka boleh dibaca dengan lima cara :
1. Membuang Ya’ Mutakallim dan menetapkan harkat kasrah sebagai dalil terbuangnya Ya’ Mutakallim. Cara yang pertama ini adalah yang paling banyak digunakan, contoh :
يا غلامِ
YAA GHULAAMI = wahai anak mudaku !
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ
YAA ‘IBAADI FAT-TAQUUN = Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku (QS. Azzumar 16)
Lafazh ‘IBAADI = Munada Mudhaf, Manshub tanda nashabnya Fathah Muqaddar di atas huruf sebelum Ya’ Mutakallim yg dibuang untuk takhfif/meringankan, dicegah i’rab zhahirnya karena Isytighol mahal/ termuatnya posisi dengan huruf yang sesuai. Ya’ yg terbuang adalah Dhamir Mutakallim Mabni Sukun pada posisi Jarr sebagai Mudhaf Ilaih.
2. Menetapkan Ya’ dengan berharkat Sukun, Cara yang keduan ini juga yang paling banyak digunakan setelah cara yg pertama, contoh:
يا غلامي
YAA GHULAAMIY = wahai pemudaku !
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an dengan menetapkan Ya’ sukun oleh sebagian Qiro’ah Sab’ah bacaan Abu ‘Amr dan Ibnu “Amir:
يَا عِبَادِيْ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ وَلَا أَنتُمْ تَحْزَنُونَ
YAA ‘IBAADIY LAA KHOUFUN ‘ALAIKUMUL-YAUMA WA LAA ANTUM TAHZANUUN. = “Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati.(Az-Zukhruf 68)
Lafazh IBAADIY = Munada Manshub, tanda nashabnya Fathah muqaddar diatas Ya’ yg dibuang. Ya’ dhamir mutakallim mabni sukun dalam posisi Jarr sebagai Mudhaf Ilaih.
3. Mengganti Ya’ dengan Alif kemudian membuangnya, menetapkan harkat Fathah sebagai dalil terbuangnya Alif, contoh:
يا غلامَ
YAA GHULAAMA = wahai pemudaku !
Lafazh GHULAAMA = Munada Mudhaf Manshub, tanda nashabnya Fathah zhahir. Ya’ Mutakallim diganti Alif yg terbuang dalam mahal Jar Mudhaf Ilaih.
4. Mengganti Ya’ dengan Alif yg ditetapkan, contoh:
يا غلامَا
YAA GHULAAMAA = wahai pemudaku !
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an:
يَا أَسَفَى عَلَى يُوسُفَ
YAA ASAFAA ‘ALAA YUUSUFA = “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf” (QS. Yusuf 84)
Lafazh ASAFAA = Munada Manshub, tanda nashabnya dengan fathah zhahir, Ya’ Mutakallim digantikan Alif sebagai Dhamir yg mabni atas sukun dalam mahal Jar Mudhaf Ilaih.
5. Menetapkan Ya’ dengan berharkat Fathah, contoh :
يا غلامِيَ
YAA GHULAAMIYA = wahai pemudaku!
contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ
QUL YAA ‘IBAADIYAL-LADZIINA ASROFUU ‘ALAA ANFUSIHIM = Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri (QS. Az-Zumar :53)
Lafazh ‘IBAADIYA = Munada dinashabkan dengan Fathah Muqaddar, Ya’ mutakallim dhamir mabni fathah dalam mahal jarr menjadi Mudhaf Ilaih.
Lima cara bacaan diatas dalam hal yang paling banyak digunakan, yaitu : dengan membuang Ya’ Mutakallim dan cukup dengan harkat kasrah pada akhir kalimat, kemudian menetapkan Ya’ sukun atau berharkat Fathah, kemudian mengganti Ya’ dengan Alif, kemudian membuang Alif, terakhir cukup dengan Fathah akhir kalimah.

Oleh : Adieen

MAKALAH BANGUN MALAM DAN MENJAUHI KEMALASAN

BANGUN MALAM DAN MENJAUHI KEMALASAN

وَيَنْبَغِيْ لِطَالِبِ الْعِلْمِ مِنْ سَهْرِ اللَّيَالِيْ لِلْمُطَالَعَةِ وَالدَّرْسِ، كَقَوْلِ الشَّاعِرِ:
Bagi orang yang mencari ilmu, seyogyanya bangunnya malam untuk mengulang pelajaran dan belajar seperti halnya syair berikut:
تَمَنَّيْتَ أَنْ تُمْسِيْ فَقِيْهًا مُنَاظِرًا # بِغَيرِ عَنَاءٍ وَالْجُنُوْنُ فُنُوْنُ
Kau berharap menjadi faqih analis,Padahal tidak sanggup bekerja keras, memang penyakit gila banyak macamnya.
وَلَيْسَ اكْتِسَابُ الْمَالِ دُوْنَ مَشَقَّةٍ # تَحَمَّلَهَا فَالْعِلْمُ كَيْفَ يَكُوْنُ
Tidak bakal memboyong harta, tanpa sanggup memikul derita, ilmu-pun begitu pula. 
وَقِيْلَ فِي الشِّعْرِ: 
Dan dikatakan dalam Syair
بِقَدْرِ الْكَدِّ تُكْتَسَبُ الْمُعَالِيْ # وَمَنْ طَلَبَ الْعُلَى سَهِرَ اللَّيَالِيْ
Seukur kesulitannya, akan dicapai kemuliaan, siapa ingin mulia, hendaklah berjaga semalaman

تَرُوْمُ الْعِزَّ ثُمُّ تَناَمُ لَيْلاً # يَغُوْصُ الْبَحْرَ مَنْ طَلَبَ اللآلِيْ
Kau ingin mulia, tapi tidur di malam hari, orang mencari mutiara, lautpun diselami
عُلُوَّ الْكَعْبِ بالْهِمَمِ الْعَوَالِيْ # وَعِزُّ الْمَرْءِ فِيْ سَهَرِ الَّليَالِيْ
Keluhuran derajat itu dengan himmah yang tinggi, keluhuran seseorang dengan berjaga di malam hari. 
وَمَنْ رَامَ الْعُلَى مِنْ غَيْرِ كَدٍّ # أَضَاعَ الْعُمْرَ فِيْ طَلَبِ الْمُحَالِ
Siapa menghendaki mulia tanpa mau kesulitan, mengulur umur untuk mencapai kemustahilan
تَرَكْتُ النَّوْمَ رَبِّيْ فِي اللَّيَالِيْ # لِأَجْلِ رِضَاكَ يَا مَوْلَى الْمَوَالِيْ
Oh Tuhan, aku singkirkan tidur di malam hari, demi ridhoMu, Ya Maulal Mawali.
فَوَفِّقْنِيْ إِلَى تَحْصِيْلِ عِلْمٍ # وَبَلِّغْنِيْ إِلَى أَقْصَى الْمَعَالِيْ
Tolonglah kami untuk mendapat ilmu, dan bimbinglah kami pada kemuliaan di sisi-Mu.

وَقِيْلَ: مَنْ أَسْهَرَ نَفْسَهُ باِللَّيْلِ فَقَدْ فَرِحَ قَلْبُهُ بِالنَّهَارِ.وَلاَ يَنْبَغِيْ لِطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يَجْهَدَ نَفْسَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، وَكَذَا وَأَنْ لاَ يُضَعَفَ نَفْسَهُ حَتَّى يَنْقَطِعَ عَنِ الْعَمَلِ بَلْ يَسْتَعْمِلُ الرِّفْقَ. قَالَ عَلَيْهِ الصَلاَةُ وَالسَّلاَمُ: نَفْسُكَ مَطِيَّتُكَ فَارْفُقْ بِهَا.وَلاَ بُدَّ لِطَالَبِ الْعِلْمِ مِنَ الْهِمَّةِ وَالْآمَالِ الْعَالِيَةِ فِيْ الْعِلْمِ كَقَوْلِ ص.م. إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُوْرِ وَيُكْرَهُ سَفْسَافَهَا. وَإيَّاكَ وَالْكَسَلَ، فَإِنَّهُ شُؤُمٌ وَآفَةٌ عَظِيْمَةٌ، قَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ نصر:
Kata mutiara disebutkan: “Barang siapa tidak tidur di malam hari, maka bahagia di siang hari”. Bagi orang yang menuntut ilmu tidak baik untuk memaksakan dirinya di atas kemampuannya, dan begitu juga tidak boleh memberatkan dirinya, sehingga dia meninggalkan pekerjaan akan tetapi dia harus menggunakan dirinya secara lemah lembut.
Nabi SAW bersabda :”Dirimu adalah kendaraanmu, maka perlakukanlah dengan santun”. Dan wajib bagi seseorang pencari ilmu untuk mendahulukan perkara penting dan mempunyai cita-cita yang tinggi didalam mencari ilmu, seperti halnya Nabi SAW bersabda:”Sungguh Allah menyukai berbagai perkara yang luhur dan membenci hal-hal yang hina. Dan hindarilah bermalas-malas, karena kemalasan itu jahat dan malapetaka besar”. Berkata Syaikh Imam Abu Nashr : 

يَا نَفْسِ يَا نَفْسِ لاَ تُرْخِيْ عَنِ الْعَمَلِ # فِي الْبِرِّ وَالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ فِيْ مَهَلِ
Diriku oh diriku, jangan kau bermalas-malasan untuk berbakti, berbuat adil dan mengabdi perlahan-lahan
فَكُلُّ دِيْ عَمَلٍ فِي الْخَيْرِ مُغْتَبِطٌ # وَفِيْ بَلاَءٍ وَسُؤْمٍ كُلُّ ذِيْ كَسَلِ
Setiap orang berbuat baik, tentu akan dikepengini, setiap orang malas, tertimpa bencana dan caci maki.
وَقَالَ أَيْضَا:
Berkata Syaikh Imam Abu Nashr lagi :
دَعِيْ نَفْسِيْ الْتَكَاسُلُ وَالتَّوَانِيْ # وَإِلاَّ فَاثبُتِيْ فِيْ ذَا الْهَوَانِيْ
Oh diriku, hindarkan malas dan menunda-nunda, kalau tidak, tetaplah kau di lembah hina
فَلَمْ أَرَ لِلْكُسَالَى الْحَظَّ يُعْطَى # سِوَى نَدَمٍ وَحِرْمَانِ الْاَمَانِ
Tidak aku lihat pemalas mendapat bagian, kecuali sesal dan gagalnya harapan.
كَمْ مِنْ حَيَاءٍ وَكَمْ عَجْزٍ وَكَمْ نَدَمٍ # جَمٍّ تَوَلَّدَ لِلْاِنْسَانِ مِنْ كَسَلِ
Bertumpuk malu, lemah dan penyesalan, dialami manusia karena bermalasan.
وَصَاحِبُ الْعِلْمِ النَّافِعِ يَبْقَى وَإِنْ كَانَ صَاحِبُهُ يَمُوْتُ. كَمَا قَالَ الشَاعَرُ:
Dan orang yang mempunyai ilmu bermanfaatitu kekal walaupun jasadnya sudah meninggal dunia
اَلْجَاهِلُوْنَ مَوْتَى قَبْلَ مَوْتِهِمْ # وَالْعَالِمُوْنَ وَإِن ْمَاتُوْا فَأَحْيَاءُ
Para manusia bodoh itu telah mati sebelum mati, para orang alim itu tetap hidup sesudah mati
وَقِيْلَ:
Dan dikatatan Syaikh Imam Abu Nashr :
وَفِي الْجَهْلِ قَبْلَ الْمَوْتِ مَوْتٌ لِأَهْلِهِ # فَأَجْسَامُهُمْ قَبْلَ الْقُبُوْرِ قُبٌوْرُ
Kematian orang bodoh telah tiba sebelum mati, tubuhnya telah terkubur sebelum dikubur.
وَإِنَّ امْرَأً لَمْ يُحْيِى بِالْعِلْمِ مَيِّتٌ # وَلَيْسَ لَه ُحِيْنَ النُّشُوْرِ نُشُوْرُ
Orang hidup tanpa ilmu adalah mati, saat kebangkitan tidak dapat bangkit kembali.
أَخُو الْعِلْمِ خَالِدٌ بَعْدَ مَوْتِهِ # وَأَوْصَالُهُ تَحْتَ التُّرَابِ رَمِيْمٌ
Orang berilmu hidup abadi sesudah mati, padahal hancur tubuhnya tertimbul duli.
وَذَو الْجَهْلِ مَيِّتٌ وَهُوَ يَمْشِيْ عَلَى الثُرَى# يَظُنَّ مِنَ الْأَحْيَاءِ وَهُوَ عَدِيْمُ
Orang bodoh itu telah mati, padahal ia berjalan di atas bumi, dikira hidup ternyata mati
وَقَالَ الشَّيْخُ بُرْهَانُ الدِّيْن فِيْ شِعْرِهِ:
Dan Syaikh Burhanuddin berkata dalam Syairnya :
إذِ الْعِلْمُ أَعْلَى رُتْبَةٍ فِي الْمَرَاتِبِ # وَمِنْ دُوْنِهِ عِزُّ الْعُلَى فِي الْمَوَاكِبِ
Ilmu itu sendiri martabat paling mulia, tapi selain ilmu akan tinggi bila banyak anak buahnya.
فَذُو الْعِلْمِ يَبْقَى عِزُّهُ مُتَضَاعِفَا # وَذُو الْجَهْلِ بَعْدَ الْمَوْتِ تَحْتَ التَّيَارُبِ
Kemuliaan berilmu abadi berlipat ganda, orang bodoh sesudah mati tertimbun tanah.
فَهَيْهَاتَ لاَ يَرْجُوْ مَدَاهُ مَنِ ارْتَقَى # رُقَيَّ وَلِيِّ الْمُلْكِ وَإِلَى الْكِتَائِبِ
Untuk mencapai puncak kemuliaan ilmu, mustahil bisa orang yang mendaki bagaikan komandan kaveleri raja.
سَأُمْلِيْ عَلَيْكُمْ بَعْضَ مَا فِيْهِ فَاسْمَعُوْا # فَبِيْ حَصْرٍ عَنْ ذِكْرِ كُلِّ الْمَنَاقِبِ
Dengarkanlah, aku ditekan sedikit untukmu, hanya ringkasan untuk menutur kemuliaan ilmu.
هُوَ النُّوْرُ كُلُّ النُّوْرِ يَهْدِيْ عَنِ الْعَمَى  # وَذُو الْجَهْلِ مَرَّ الدَّهْرِ بَيْنَ الْغَيَائِبِ
Dia cahaya cemerlang penerang buta, orang bodoh sepanjang masa gelap gulita.
هُوَ الذَّرْوَةُ السَّمَّاءُ تَحْمِيْ مِنَ التَّجَا # إِلَيْهَا وَيُمْسِيْ آمِنًا فِي النَّوَائِبِ
Dia puncak yang tinggi dan melindungi, setiap orang menjadi aman dari rintangan.
بِهِ يَنْجُوْ وَالنَّاسُ فِيْ غَفَلاَتِهِمْ # بِهِ يَرْتَجِيْ وَالرُّوْحُ بَيْنَ التَّرَائِبِ
Dia sarana, untuk menolong orang durhaka, dia harapan ketika nyawa di ambang pintu.
بِهِ يَشْفَع ُالْإِنْسَانُ مَن رَاحَ عَاصِيَا # إِلَى دَرَكِ النِّيْرَانِ شَرِّ الْعَوَاقِبِ
Dia penyelamat insan dikala terjerat tertipu, yang bertindak buruk, lagi menuju kerak neraka
فَمَنْ رَامَهُ رَامَ المآرِبَ كُلَّهَا # وَمَنْ حَازَهُ قَدْ حَازَ كُلَّ الْمَطَالِبِ
Siapa saja tujuannya ilmu, berarti menuju segala-galanya, siapa dia mendapat ilmu, berarti mendapat segala-galanya.
هُوَ المَنْصَبُ الْعَالِيْ اَيَا صَاحِبَ الحِجَى# إِذَا نِلْتَهُ هَوِّنْ بِفَوْتِ الْمَنَاصِبِ
Wahai insan berakal, ilmu itu pangkat yang mulia, jika telah kau dapat, pangkal lain lepas tidak mengapa.
فَإنْ فَاتَكَ الدُّنْيَا وَطِيْبُ نَعِيمِهَا # فَغَمِّضْ فَإنَّ الْعِلْمَ خَيْرُ الْمَوَاهِبِ
Bila kau ditinggalkan dunia dan segala nikmatnya, lupakanlah: sungguh ilmu anugrah paling berharga.
والله أعلم

BANGUN MALAM DAN MENJAUHI KEMALASAN

Dari syair di atas menegaskan bahwa proses mencari ilmu yang di iringi dengan kesungguhan dan jerih payah menjadi syarat mutlak tercapainya ilmu-ilmu yang bermanfaat. Karena orang yang hanya berangan-angan untuk menjadikan dirinya seorang yang faqih tetapi ia meninggalkan kesungguhan dalam mencari ilmu, maka sesungguhnya ia bagaikan orang-orang yang gila. 
Maksud dari sifat gila ini yakni mustahil seseorang menjadi faqih tatkala ia meninggalkan kesungguhan dalam mencari ilmu. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Insyiroh :
                          
Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Bahwa gambaran seperti itu oleh mushonnif kitab ta’limul muta’allim diibaratkan orang yang ingin mempunyai harta yang banyak tapi ia tidak mau bekerja maka tidak mungkin orang itu menjadi kaya, begitu pula dengan ilmu jika ingin memperoleh ilmu maka seseorang harus rela mengorbankan waktunya untuk belajar.
Orang yang sedang mencari ilmu hendaknya ia rela mengurangi tidur dimalam hari untuk belajar ilmu-ilmu yang ia inginkan, karena pada malam hari Allah menjelaskan dalam firmannya bahwa waktu malam hari adalah waktu yang efektif untuk para pelajar jika ingin mempelajari hal-hal yang ia rasa sulit selain itu diwaktu dimalam hari, Allah lebih mendengar doa para hambanya dibanding pada waktu siang hari. Jadi sebagai penuntut ilmu selain mengurangi waktu untuk belajar seorang penuntut ilmu juga dianjurkan untuk memperbanyak beribadah dimalam tersebut karena usaha yang diiringi dengan doa akan menghasilkan hasil yang memuaskan, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra’ :
               
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.
Namun dalam faktanya banyak pelajar yang kurang mengetahui waktu-waktu efisien untuk belajar misalkan. Masih banyak belajar yang menghabiskan malam harinya untuk begadang yang tiada arti. Perbuatan semacam ini digambarkan seperti halnya orang yang mencari mutiara didasar lautan pasti akan mengalami kesulitan.
Namun raga seseorang juga mempunyai batas kemampuan. Kita sebagai penuntut ilmu harus pandai melihat kondisi diri sendiri, jangan terlalu berlebihan dalam belajar dimalam hari, karena raga seseorang mempunyai kadar yang berbeda-beda. Tatkala raga kita sudah tidak mampu untuk melakukan aktifitas dimalam hari, Allah menyuruh kita segera tidur untuk melepas kelelahan. Allah berfirman dalam surat An-Naba’ :
                  
Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.
Kita sebagai pelajar harus pandai merawat kondisi tubuh kita, karena kondisi fisik itu sama halnya dengan kendaraan.
Seorang pencari ilmu harus melihat orang-orang yang akreditasi ilmu diatas dirinya dan melihat kekayaan seseorang dibawahnya. Karena hal ini bisa menjadi pemicu seseorang untuk giat memperdalam ilmu. Selain itu orang yang sedang mencari ilmu jangan merasa bahwa dirinya sudah mengerti apa yang ia pelajari.  Rasulullah bersabda: bahwa Allah mecintai perkara yang mulia dibanding dengan cita-cita yang hina.
Hal yang perlu diperhatikan seseorang yang sedang mencari ilmu ialah hambatan-hambatan yang bisa menjatuhkan cita-citanya. Diantara hambatan yang harus diperangi oleh orang yang sedang mencari ilmu ialah sifat malas, karena malas adalah sifat yang bisa mengecewakan diri sendiri dan orang lain. Selain itu sifat malas hanya menghasilkan dua hal, yakni penyesalan dan gagalnya harapan.
Jika seorang pencari ilmu sudah bisa menjalankan anjuran-anjuran di atas, niscaya keinginan orang tersebut akan menjadi sebuah kenyataan, dan ia mendapat gelar orang alim di sisi Tuhan. 
وقال صلى الله عليه وسلم : من اكرم عالما فقد اكرمني. ومن اكرمني فقد اكرم الله ومن اكرم الله فماء واه اجنة.
 Gelar ini tidak dapat diperoleh oleh semua orang, belum tentu orang yang sukses di bidang formal mendapat gelar orang alim disisi Allah. Gelar ini di berikan khusus hanya kepada orang-orang yang mau bekerja keras dan bertaqwa kepada Allah, karena seseorang dinilai alim jika ia menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Belum tentu orang yang mengerti itu pasti mengamalkan apa yang ia ketahui. 
Dan jika seseorang mengerti dan mau mengamalkan apa yang ia ketahui, sesungguhnya ia adalah orang-orang yang dijanjikan Allah sebagai manusia yang mempunyai kekekalan di dunia walaupun jasadnya sudah mati. Hal ini sesuai firman Allah dalam surat Ali Imran :
                                       
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup. Mereka dalam Keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka.

BAB
PEMBAHASAN
TENTANG HURUF   ليس
( Huruf-huruf Yang Menyerupai Pengamalannya   ليس).
Huruf-huruf   ليس  yaitu : huruf نفي   yang diamalkan pengamalannya ليس  dan melakukan maknanya ليس yaitu ada empat (ما ولا ولات وان)

ما  yang menyerupai dengan ليس
Huruf  ما  bisa beramal seperti halnya ليس  jika memenuhi empat syarat, 
(1), jika khobarnya tidak didahulukan atas isimnya ما, apabila khabar didahulukan, maka  ما  ini tidak bisa beramal, seperti halnya ( ما مسي ء من اعتب )
(2), jika pengamalan khabarnya  ما  tidak didahulukan atas isimnya  ما  dan apabila didahulukan maka tidak bisa beramal, seperti halnya  ( ما امر الله انا عاص ),  kecuali pengamalan khabarnya  ما  itu berada diakhir atau di jarkan dengan huruf  jar maka hal ini ma tetap diamalkan seperti halnya  ليس  
(ما عندي انت مقيما, ما بك انا منتصرا)
Apabila mendahulukan pengamalannya khabar dari khabarnya ما sendiri bukan dari isim lainnya, hal ini juga bisa menjadikan  ما  beramal seperti  ليس  walaupun pengamalannya khabar itu tidak berada pada akhir kalimat atau tidak dijarkan, 
(انا امرك عاصيا)
(3), setelahnya  ما  tidak ditambahi dengan huruf ان , apabila terjadi penambahan huruf  ان setelah huruf ما, maka ما tidak bisa beramal, seperti syair
 (  بني غدانة, ما ان انتم ذهب # ولا صريف, ولكن انتم الخزف )
(4), tidak mengahapus kenafian ما dengan huruf ليس, apabila terjadi penghapusan penafian ما , maka ما tidak bisa beramal, seperti halnya               

وما امرنا الا واحدة , وما محمد الا رسول 
dan contoh ini karena  ما  tidak diamalkan pada isim yang tetap. 
Dan apabila syarat diantara beberapa syarat diatas dihapus maka ما sudah tidak bisa bersama, dan ada huruf setelah ما itu menjadi mubtada atau khabar, seperti halnya pendapatku
Dan juga diperbolehkan isimnya ما berupa  اسم فعرفة  dan juga  اسم نكرة  seperti contoh 
(ما احد افضل من الخلص في عمله )
Dan apabila  ما  tidak diamalkan didalam isim-isim yang diwajibkan, dan ما tidak diamalkan pada  اسم نفي  maka wajib dirofa’kan huruf setelahnya  (بل ولكن)  seperti halnya lafadz  (ما سعيد كسولا), lafadz-lafadz tersebut ialah khabarnya mubtada yang dibuang dalam kira-kiranya  (هو)  maksudnya  (بل هو مجتهد), huruf  بل  dan  لكن  menjadi dua huruf ibtida’ yang keduanya bukan huruf  عطف, jika keduanya menjadi  عطف  maka tidak bisa memenuhi walaupun huruf   ماdiamalkan setelah huruf  بل  dan  لكن , hal ini karena bukan huruf  نفي, tetapi huruf yang ditetapkan.  بل  dan  لكن  bisa memenuhi kewajiban amal setelah huruf  نفي, apabila ada huruf  عطف  yang tidak memenuhi untuk pewajiban amal seperti halnya  واو , maka boleh menasabkan huruf setelahnya menggunakan  عطف  terhadap khabar, seperti halnya (ما سعيد كسولا ولا مهملا)  dan boleh membaca rofa karena menjadi khobar mubtada yang dibuang   (ما سعيد كسولا ولا مهمل)
Seperti halnya pada huruf  ليس  wajib dibaca rofa huruf setelah  بل  atau  لكن  seperti halnya (ليس خالد شاعرا, بل كاتب)  dan boleh menasabkan dan merofakan setelah عطف واو seperti halnya (ليس خالد شاعرا ولا كاتبا, ولا كاتب). Tetapi membaca nashab lebih baik menurut ahli nahwu .
Ketahuilah bahwa huruf ما tidak beramal seperti amalnya  ليس  kecuali didalam bahasa orang hijaz (الذين جاء القران الكريم بلغتهم). Dan penduduk  تهامة  dan  نجد  maka dari itu huruf  ما  disana dinamakan  ما النافية الحجازية. Yang dimaksud  ما النافية الحجازية   yakni   ما نفي yang tidak dipakai didalam bahasa  تميم  dalam berbagai keadaan dan lafadz-lafaz setelahnya mubtada dan khabar.
لا yang diserupakan pengamalannya dengan  ليس
لا yang diserupakan dengan pengamalan  ليس  menurut seluruh orang arab tidak diamalkan dan juga bisa diamalkan menuruf orang  حجاز  dengan syarat yang didahulukan dan ditambahi atas isim khabar nakirohnya  لا. Dan jarang terjadi isimnya  لا  itu berupa isim ma’rifat seperti halnya syair   
وحلت سواد القلب, لا انا باغيا # سواها, ولا في حبها متراحيا 
dan seperti halnya terdapat pada pendapatnya  متنبي 
اذا الجود لم يرزق خلاصا من الاذى # فلا الحمد مكسوبا, ولا المال باقيا   
dan sebagian ulama arab memperbolehkan pengamalan  لا.
Keumumannya khabar  لا  dalam hal ini terbuang seperti contoh 
من صد عن نيرانها # فانا ابن قيس, لا براح 
Yang dimaksud dengan  لا براح  yaitu  لا براح لي . dan juga boleh menuturkan khabarnya  لا .seperti halnya pendapat lain 
تعز, فلا شيء على الارض باقيا # ولا وزر مما قضى الله واقيا 
Dan ketahuilah bahwa huruf  لا  diatas boleh dikembalikan sebagian ke nafiannya atau keseluruhan kenafiannya. Yaitu yang dipakai pada  نفي الوحدة  dan  نفي الجنس. Dan  قرينة  antara keduanya  (فان قلت : لا رجل حاضر), yang dimaksud dengan lafadz tersebut tidak ada satupun jenis dari laki-laki hadir dan juga bisa saja yang dimaksud tidak ada satupun laki-laki yang hadir, maka hal ini bisa mencakup dua orang laki-laki atau lebih dan hal ini dapat dikatakan 
(لا رجل حاضرا). Adapun لا yang beramal seperti amalnya  ان  maka  ل  ini tidak mempunyai لا نفي الجنس  pada keumumannya, seperti halnya ucapan  .لا رجل حاضر Lafadz ini mempuyai makna  ليس احد من جنس الرجال حاضرا.  Hal ini tidak diperbolehkan engaku mengucap       بل رجلان, او رجال . 

Dan ketahuilah bahwa yang lebih utama didalam  لا  yakni jika  لا  di sepikan dan dibuat isim setelahnya mubtada dan khabar. Dan apabila tidak dipakai pengamalannya maka yang lebih baik dalam hal ini لا di ulang-ulang seperti halnya لا خوف عليهم ولا هم يحزنون

لات  yang diserupakan pengamalannya dengan  ليس
لات  beramal seperti amalnya  ليس  dalam dua syarat
(1), jika isim dan khabarnya  لات  berupa isim zaman seperti lafadz 
كالين والساعة والاوان 
(2), jika salah satu darinya dibuang. Pada keumumannya sesuatu yang dibuang yaitu berupa isimnya لات, seperti halnya  ولا تحين مناص. Dan seperti halnya ucapan syair 
 ندم البغاة, ولات ساعة مندم, # والبغي مرتع مبتغيه وخيم 
Dan juga boleh merofakan lafadz diatas karena dia termasuk isimnya  لات. Isimnya  لات dibuang maka ia dibaca nasab karena ia sesungguhnya menjadi khabarnya  لات  dan hal ini jaranga terjadi pada bahasa orang arab.
Dan ketahuilah bahwa  لات  jika kemasukan selain isim zaman maka  لات  tidak bisa beramal seperti  ليس  seperti 
لهفي عليك للهفة من خائف # يبغي جوارك حين لات مجير
Dan ketahuilah bahwa orang arab memperbolehkan pengamalannya  لات  seperti ليس  dan membaca jar adalah pendapat yang  شاذ, seperti 
طلبوا صلحا ولات اوان # فاجبنا ان ليس حين بقاء  
Dan pendapat متنبي       :
لقد تصبرت حتى لات مصطبر # والان اقحم حتى لات مقتحم           
ان  yang menyerupai pengamalannya dengan ليس
Terkadang  ان النافية  bisa berama seperti amalnya  ما نفي  dan hal ini tidak dipakai. Dan terkadang in beramal seperti  ليس  namun sedikit. Hal itu terdapat pada bahasa orang  نجز  dari bagian orang arab. Seperti halnya pendapat mereka ان احد خيرا من احد الا بالعافية      
dan pendapat syair  
ان هو مستوليا على احد # الا على اضعف المجانين 
Dan pendapat lain 
ان المرء ميتا بانقضاء حياته # ولكن بان يبغى عليه فيخذلا   
ان  bisa beramal seperti amalnya  ليس  dengan dua syarat
(1), jika khabarnya ان  tidak didahului dengan isimnya, apabila didahului dengan isimnya maka pengamalannya batal
(2), jika tidak melakukan kenafiannya  ان  dengan huruf  الا   dan apabila kenafiannya  الا dilaksanakan maka  ان  tidak bisa beramal seperti halnya ان انت الا رجل كريم . 
Pengamalan nafi bisa membatalkan amalan ان  karena ia dinisbatkan terhdap khabar. Seperti halnya pendapatku. Dan pengamalannya ان  tidak membahayakan terhadap nisbat معمول  khabar, seperti halnya ان انت اخذا الا بيد البائسين   Contoh bait 
ان هو مستوليا على احد  
Dan ketahuilah bahwa keumuman didalam ان النافية  apabila bersamaan dengan khabar setelahnya  ان  berupa huruf  الا , seperti halnya ان هذا الا ملك كريم 
 Dan terkadang pengmalan ان  tidak mengguakan الا  seperti bait 
ان المرء ميتا بانقضاء حياته  
dan juga pendapatnya ahli nawu ان هذا نافعك ولا ضارك .
Faidah
Imam الكسائي  mendengar orang arab berbicara انما قائما . kemudian ia mengingkari ucapan tersebut , dia mengira bahwa ان yang ditasydid meluruskan isim rofa terhadap khabar dan haknya itu apabila dirofa’kan seperti lafadz قائما 
Apabila ia menginginkan ucapan ان انا قائما  yang dimaksud ما انا قائما  kemudian meninggalkan hamzahnya karena lebih mempermudan dan mengidghomkan pada لكنا هو الله ربي  yang dimaksud لكن انا.    

Oleh : Abdur