Jumat, 21 Juli 2017

makalah pemikiran pendidikan al farabi dan ibnu sina

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani para filosof Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan tertarik dengan pikiran Plotinus, sehingga banyak teori yang diambil. Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya dan berguna kepada mereka. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan memngutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam kutipan dari Aristoteles atau neo-Platonisme. Walaupun mereka mencangkok pemikiran para filosof Yunani tapi dalam memahami substansinya berbeda. Dimana mereka Ibnu farabi dan Ibnu Sina lebih Islami dan sesuai dengan Al-Qur'an.
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini saya akan membatasinya pada kajian tertentu agar kita mempunyai cermin yang representatif dalam mengambil sebuah kebenaran dan pelajaran dari sejarah pemikiran Islam.

B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan ini kita akan membahas beberapa pemikiran filsafat dari dua tokoh klasik yaitu Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang berkenaan dengan:
  1. Bagaimanakah pemikiran Al-Farabi tentang Filsafat Al-Faidl (emanasi)?
  2. Bagaimanakah pemikiran Al Farabi tentang pandangan politik?
3.      Bagaimanakah pemikiran Al-Farabi tentang filsafat kenabian?
4.      Bagaimanakah pemikiran Ibnu Sina tentang filsafat Al-Faidl (emanasi)?
5.      Bagaimanakah pemikiran Ibnu SIna tentang Filsafat Al-Nafs (jiwa)?
6.    Bagaimanakah pemikiran Ibnu SIna tentang filsafat kenabian?



C. Tujuan Pembahasan
Dari beberapa permasalahan yang terkemukakan, kita berharap mampu menemukan jawaban untuk:
1.      Untuk mengetahui pemikiran Al-Farabi tentang Filsafat Al-Faidl (emanasi).
2.      Untuk mengetahui pemikiran Al-Farabi tentang pandangan politik.
3.   Untuk mengetahui pemikiran Al-Farabi tentang filsafat kenabian.
4.   Untuk mengetahui pemikiran Ibnu Sina tentang filsafat Al-Faidl (emanasi).
5.   Untuk mengetahui pemikiran Ibnu Sina tentang filsafat An-nafs (jiwa).
6.   Untuk mengetahui pemikiran Ibnu Sina tentang filsafat kenabian.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Al-Farabi
Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nashir Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalayh, yang biasa di singkat menjadi Al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 275 H/870 M. Sejak kecil, Al-Farabi sudah menguasai beberapa bahasa antara lain bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan. Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad. Di Bagdad ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika dan filsafat kepada seorang Kristen yang bernama Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus. Sesudah itu ia pindah ke Harran salah satu Kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantiq (logika). Di Baghdad ia berdiam selama 30 tahun. Selama waktu itu, ia memakai waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Pada tahun 330 H (941 M) ia pindah ke Damsik dan disini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saipudautah, Khalifah Dinasti Hamdan. Dan ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.
B.     Al – Faidl (emanasi)
Teori ini membahas tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam Makhluk) dari zat, yang mesti adanya, tuhan zat yang wajibul wujud. Teori ini sebenarnya terdapat pula dalam NeoPlatonisme. Perbedaan antara keduanya yaitu terletak uraian Al-Farabi yang ilmiah. Menurut teori emanasi Al-Farabi di sebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu yang keluar dari pada Nya satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari Zat Tuhan itu berbilang, maka berarti Zat Tuhan itu berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal terdapat kakuatan emanasi dan penciptaan, Dalam alam manusia sendiri, apabila kita menuturkan, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakn terlaksananya atau wujudnya.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan mutazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki di samping tuhan, itu mengandung arti bahwa ada banyak wujud, san dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat  Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan  akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan.Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Kalau bagi kaum mutazialah dalam memurnikan tauhid pergi ke peniadaan tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah Swt. Maka kaum filosof islam yang di pelopori ibnu al-farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak  dalam diri tuhan, kalau tuhan ini berhubungan  langsung dengan alam yang tersusun dari banyak  pemikiran yang banyak ini membuat tauhid ini tidak murni lagi.
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada.
Adapun wujud pertama, yang keluar dari Tuhan disebutu akal pertama, yang mana mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyyah), yaitu wujud yang mukmin. Kedua segi lain, yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai zat yang menjadikan. Jadi meskipun akal pertama itu satu (tunggal). Namun pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut menjadi objek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapatkah di benarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.
Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah akal kedua. Dari pemikiran  akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang mungkin dan mengetahui dirinya maka timbullah langit pertama dengan jiwa langit tersebut. Jadi dari dua objek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya yang mungkin, keluarlah dua macam makhluk tersebut, yaitu hendaknya benda langit dan jiwanya.
Dari akal kedua maka timbullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap beserta jiwanya dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada akal pertama.
Dari akal ketiga keluarlah akal keempat dan planet Saturnus (Zuhal), juga beserta jiwanya.
Dari akal keempat keluarlah akal kelima dan planet Yupiter (al-Masy - tara), beserta jiwanya.
Dari akal kelima keluarlah akal keenam dan planet Mars (Marilah), beserta jiwanya.
Dari akal keenam keluarlah akal ketujuh dan Matahari (as-Syams), beserta jiwanya.
Dari akal ketujuh keluarlah akal kedelapan dan planet Venus (az- Zuharah), beserta jiwanya.
Dari akal kedelapan keluarlah akal kesembilan dan planet Mercurius (U’tarid), beserta jiwanya.
Dari akal kesembilan keluarlah akal kesepuluh bulan (Qomar)
Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu akal pula dan satu planet beserta jiwanya. Dari akal kesepuluh  sesuai dengan dua seginya yaitu wajib-al-wujud karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya dan dari segi dirinya yang merupakan wujudnya yang mungkin maka keluarlah unsur empat dengan perantaraan benda-benda langit. Adapun keempat unsur itu ialah udara, api, air, tanah. Struktur emanasi saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi, karenanya ia membutuhkan sepuluh akal, setiap satu akal mengurusi satu planet termasuk bumi.

C.    Politik
Dalam teori asal-usul tumbuhnya kota atau Negara, al-farabi menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang memiliki kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena tidak mungkin mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Adapun tujuan masyarakat itu menurut al-farabi tidak semata-mata untuk memenuhi keperluan asas hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kebahagian atau kesejahteraan kepada manusia, baik itu material atau yang bersifat spiritual, tidak hanya di dunia tapi juga di akherat nanti.
Menurut Munawir Sjadzali dalam Sirojuddin Aly, al-Farabi memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Islam, di samping tidak terlepas dari tradisi Plato atau Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas dan akhlak. Sehingga dapat kita ambil sebuah intisari bahwa masyarakat bukanlah merupakan tujuan, tetapi merupakan sebuah perantara untuk mencapai tujuan utama, yaitu tingkat kesempurnaan yang dapat membawa manusia ke kebahagiaan di dunia maupun akherat.
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka. Negara utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna.
D. Teori Kenabian
Persoalan kenabian ada pada agama. Tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana secara essensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham. Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Seorang nabi hanyalah manusia biasa, ia diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan mengekspresikan kehendaknya, sebagi keistimewaannya. Agama islam adalah agama langit yang ajarannya berasal dari langit dan sumder utamanya adalah kitab suci dan assunah. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kedapanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (QS. An-Najm: 3-5)
Apabila ada orang yang mengingkari wahyu berarti menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan tindakan ini merupakan pelanggaran Allah. Sebagai orang muslim sudah tentu akan mengimani apa yang dating dari wahyu.
Al-Farabi merupakan orang yang pertama-tama membahas soal kenabian dengan lengkap. Teori kenabian Al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam filsafat ditegakkan atas dasar-dasar psikologis dan metafisika, dan erat hubungannya dengan akhlak dan politik.

E.    Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali-Husain ibnu ‘Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibnu Sina. Pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa bersumber pada pemikirannya tentang akal pertama. Ibnu Sina berpendapt bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: yaitu sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga objek pemikiran. Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mumkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari akal kesepuluh.
Di barat populer dengan sebutan Avecina akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spayol-Latin. Ibnu Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa ilmu seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum dan lain-lainnya. Ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun dia telah memahami teori kedokteran, karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syam Al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan. Di antara guru yang mendidiknya ialah Abu Abdullah Al-Natili dan Ismail Sang Zaid. Ibnu Sina secara tidak langsung berguru kepada Al-Farabi. Ibnu Sina merupakan pewaris filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan  Al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibn Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah di rintis Al-Farabi, Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filasafat di tangannya telah mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh al-Ra’is.

F.     Al – Faid (emanasi)
Ibnu Sina, sebagaimana juga Al-Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan  bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari yang esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi, maha sempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara emanasi. Filsafat emanasi ini bukan hasil rencangan Ibnu Sina tetapi berasal dari “Ramuan Platinus” yang mengatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa. Kemudian prinsip Plotinus ini di Islamkan oleh Ibnu Sina Bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Walaupun prinsip Ibnu Sina dan Platinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan. Yang esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Tuhan . pencipta yang Aktif ia menciptakan Tuhan dalam materi dan sudah ada dalam pancaran.
Proses terjadinya pancaran  tersebut ialah ketika Tuhan Wujud sebagai akal. Langsung memikirkan terhadap dzat-Nya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama muncullah akal kedua. Jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak mengahasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok, air, udara, api, dan tanah.
Berlainan dengan Al-Farabi bagi Ibnu Sina akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya.. Dengan demikian Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi Tiga : Tuhan (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi) sebagai pancaran dari Tuhan, dan dirinya akal – akal (mungkin al – wujud) ditinjau dari hakikat dirinya. Untuk lebih je;asnya dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina di bawah ini.
Emanasi diatas menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet, sembilan akal, mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi, berbeda dengan pendahulunya. Al-Farabi, bagi Ibnu Sina masing-masing berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat -malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah malaikat jibril yang mengatur bumi dan isinya.

G.     Al – Nafs (jiwa)
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence . Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit.
Kata jiwa dalam Al-Qur’an dan Hadist diistilahkan dengan Al-Nafs atau Al-Ruh terekam dalam surat Shad: 71-72, al-Isra’: 85 dan al-Fajr: 27-30. jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan, memancar dari akal sepuluh. Adapun secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa sebagai berikut.
1.      Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.
a.       Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai  tiga jiwa yaitu: makan (Nutrition), Tumbuh (growth), berkembang biak (reproduction)
b.      Jiwa binatang mempunyai
         Gerak (locomotion)
         Menangkap (perception) dengan dua bagian :
        Menangkap dari luar dengan panca indera
        Menagkap dari dalam dengan indera – indera dalam.
         Indera bersama yang menerima segala apa yang di tangkap oleh panca indera
         Representasi yang menyimpan segala apa yang di terima indera bersama.
         Imaginasi yang dapat menyusun apa yang di simpan dalam representasi
         Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstrak yang terlepas dari materi, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari Anjing Srigala.
c.       Jiwa manusia mempunyai dua daya yaitu praktis dan teoritis. Daya praktis hubungannya dengan jasad sedangkan daya teoritis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan yaitu:
  • Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum di latih sedikitpun.
  • Intelektualin habits, yang telah mulai di latih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
  • Akal actual yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
2.      Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut.
a.       Wujud Jiwa
Untuk membuktikan adanya jiwa Ibnu Sina mengemukakan empat dalil yaitu
        Dalil dalam kejiwaan.
Pada dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak ada dua macam.
    Gerak paksaan yaitu gerak yang ditimbulkan akibat dorongan dari luar.
    Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu
    Gerak yang sesuai dengan hukum alam seperti, jatuhnya batu dari atas ke bawah
    Gerak yang teerjadi dengan melawan hukum alam.
        Dalil aku dan kesatuan gejala kejiwaan
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan, tentang dirinya atau mengajak bicaa orang lain, maka yang di maksud ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika menyatakan saya keluar atau tidur maka byukan gerak kaki, atau pemejaman mata yan dimaksud tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
        Dalil kelangsungan (kontinuitas)
Dalil ini menyatakan bahwa masa kita sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungannya ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang lewat. Dalil kelangsungan Ibnu Sina ini telah membuka ciri kehidupan yang khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasan yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad.
        Dalil orang terbang atau tergantung di udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut di dasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampunnya utuk memberikan keyakinan dalil tersebut mengatakan sebagai berikut: Andaikan ada seorang tercipta  sekali jadi dan mempunyai eujud yang semperna. Kemudian di letakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidak merasakan aapapun. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia menghayakan adanya tagan, kaki dan organ jasad lainnya,tetapi semua organ jasad tersebut ia khayalkan bukan bagian dari dirinya. Dengan demikian, bearti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indera dan jasmaninya, melainkan dari sumber yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa. Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda- beda mengharuskan adanya perkara-perkara yang berbeda  beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan- pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.
b.      Hakikat jiwa
Definisi jiwa yang dikemukakan oleh Aristoteles yang berbunyi “kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya definisi tersebut belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang membedaknnya dari jasad. Menurut Aristotelis, manusia sebagaimana layaknya benda alam ini terdiri dario dua unsur: Madat (materi) dan Shurat (from). Matei adalah jasad manusia dan from adalah jiwa manusia. From inilah yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasinya hancurnya materi atau jasad  akan membawa hancur from atau jiwa. Justru itulah uantuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan Jauhar. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari materi – materi sebagaimana jasad. Kesatuan di antara keduanya bersifat Acciden, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh). Pendapat Ibnu Sina ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan jiwa adalahsubtansi yang berdiri sendiri.
c.       Hubungan jiwa dengan jasad
Adapun menurut Ibnu Sina hubungannya antara jiwa dan jasad sangat erat, keduanya juga saling mempengaruhi atau saling membantu, jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain jiwa tidak akan tercita tanpa adanya jasad yang di tempatinya.
d.      Kekekalan Jiwa
Tentang kekekalan jiwa Ibnu Sina lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang di sinyalkan Al–Qur’an. Menurutnya jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan di akhirat, akan tetapi kekalnya ini di kekalkan Allah.

H. Teori Kenabian
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini:
i.     Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
ii.     Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
iii.     Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
iv.     Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu fa’aala).
Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua …selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).




DAFTAR  PUSTAKA


Hanafi, A.  Pengantar Filsafat Islam, Jakarta. PT Bulan Bintang, 1991

Nasution, Harun Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973

--------. Filsafat Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1973

Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Zar, Sirojudin, Filsafat Islam Jakarta: PT Raja Erfindo Persada, 2004

--------. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemeliharaan Sain dan Al – Qur’an, Jakarta: Rajawali Perss, 1994




Tidak ada komentar:

Posting Komentar